Indonesia pernah menyandang predikat sebagai negeri swasembada pangan yang memiliki lahan pertanian yang luas dan subur. Namun saat ini predikat tersebut sudah tidak pantas disematkan, karena beberapa wilayahnya justru mengalami rawan pangan. Sebagai negara agraris, selama ini konsep pembangunan pertanian Indonesia yang menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan pangan global membuat impor sulit dihindari. Umumnya harga pangan impor jauh lebih murah dari pada produksi petani lokal, sehingga mafia pangan terus mendorong agar dilakukan impor dan menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor terbesar di dunia untuk beberapa komoditas pangan utama.
Menurut survey yang dilakukan CDMI, sepanjang Januari – Oktober 2014 impor beras mencapai 405 ribu ton senilai US$ 179 juta, jagung sebanyak 2,6 juta ton senilai US$ 691 juta dan kedelai sebanyak 5,02 juta ton senilai US$ 2,99 milyar. Sedangkan tahun 2013 lalu impor beras mencapai 472,66 ribu ton senilai US$ 246 juta, jagung 3,19 juta ton senilai US$ 920 juta dan kedelai 1,78 juta ton senilai US$ 1,1 milyar. Di prediksi tahun 2015 impor beras melonjak sangat tinggi bisa mencapai 1 juta ton penyebabnya adalah minimnya produksi padi akibat musim tanam yang mundur 1-2 bulan.
Melihat kenyataan ini, Pemerintahan pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas utama dari kabinet kerja untuk mewujudkan program swasembada pangan pada tahun 2017 mendatang. Hal ini terlihat dari besarnya anggaran pertanian tahun 2015 yang mencapai Rp. 79,33 triliun atau meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya Rp. 46,20 triliun. Anggaran sebesar itu akan digunakan untuk memperbaiki kerusakan irigasi yang masif, produktivitas dan distribusi benih yang baik, distribusi pupuk dan penyuluhan kepada petani.
Besarnya potensi bisnis untuk tiga komoditi pangan ini, membuat CDMI tertarik untuk melakukan riset yang lebih mendalam dan akhirnya sukses menerbitkannya dalam sebuah buku studi yang berjudul Potensi Bisnis Komoditas Pangan Utama (Padi, Jagung dan Kedelai) di Indonesia.