Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta merupakan pasar yang sangat potensial untuk mengembangkan industri susu, namun sayangnya potensi yang besar itu tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyediakan bahan bakunya. Akibatnya industri pengolahan susu sangat tergantung terhadap bahan baku impor. Pada kondisi yang normal, hal ini tidak menjadi masalah, tetapi naiknya bahan baku susu impor yang dibarengi dengan melemahnya nilai tukar rupiah akan menjadi masalah tersendiri dan harus segera bisa diatasi.
Konsumsi susu yang masih rendah di Indonesia memberi ruang yang luas pagi para produsen untuk mengembangkan potensi pasar industri pengolahan susu. Berbagai inovasi dilakukan produsen untuk meningkatkan minat masyarakat mengkonsumsi susu, baik inovasi produk maupun inovasi pemasaran. Promosi yang sangat gencar dan segmentasi yang semakin jelas seolah-olah mewajibkan semua orang untuk mengkonsumsi susu.
Menurut penelitian CDMI, industri susu dalam negeri tumbuh pesat. Tahun 2017 lalu pasar susu Indonesia bernilai Rp. 51,69 triliun dengan angka pertumbuhan rata rata 6,60% per tahun. Susu bubuk menguasai porsi terbesar (59%), sisanya merupakan susu cair (20%) dan susu kental manis (21%). Dengan nilai pasar yang begitu besar, persaingan tidak dapat dihindarkan. Perusahaan perusahaan multinasional seperti Frisian Flag dan Nestle, kedua perusahaan ini menguasai 42% pasar susu Indonesia, sedangkan Mead Jhonson, Abbot, Wyeth dan yang lain kontribusinya masih sangat kecil.
Ditengah persaingan perusahaan-perusahaan multinasional, ternyata perusahaan-perusahaan susu nasional juga tumbuh pesat. PT. Sarihusada Generasi Mahardika dan PT. Indolakto, kedua perusahaan ini menguasai pasar sebesar 23,7%, sedangkan PT. Ultrajaya, PT. Diamond Cold Storage penguasaan pasarnya terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan lainnya. Gambaran lebih jelas tentang penguasaan pasar susu di Indonsia untuk setiap perusahaan dapat dilihat pada buku studi ini.